Oleh : Lilis Suryani
TEROPONG – Nasib perempuan di era modern seperti saat ini nampaknya masih menyisakan PR besar bagi semua pihak. Problematika yang dihadapi justru semakin pelik, saat ini bukan hanya ancaman kemiskinan dan kelaparan saja. Melainkan eksploitasi kaum perempuan semakin menjadi-jadi.
Fenomena upah murah bagi buruh perempuan sudah menjadi rahasia umum, belum lagi kaum perempuan acap kali menjadi korban Trafficking atau TPPO. Bilakah penderitaan kaum perempuan akan berakhir?
Sejumlah pihak menganggap bahwa problematika yang dihadapi kaum perempuan disebabkan karena tingkat keterwakilan perempuan di parlemen yang masih minim.
Jika melihat provinsi Jawa Barat sendiri, tingkat keterwakilan perempuan masih di bawah 30 persen. Saat ini, keterwakilan perempuan berada di angka 22,5 persen atau dengan kata lain masih belum mencapai jumlah minimal 30 persen. Ada anggapan bahwa adanya perempuan di parlemen sangat diperlukan guna menciptakan regulasi yang pro pada masalah perempuan dan mengoptimalkan anggaran responsif gender.
Jika tolok ukur dari problematika yang dihadapi kaum perempuan karena jumlah keterwakilan perempuan di parlemen yang minim, maka mari kita berkaca pada negara-negara yang dianggap lebih maju dengan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen lebih dari 30 persen. Penulis sengaja mengurutkannya dari 3 besar negara yang jumlah keterwakilan perempuan di parlemennya tinggi.
Di urutan pertama ada Rwanda, dari 80 kursi parlemen 49 diantaranya diisi oleh perempuan (Pemilu 2018). Dengan demikian, tingkat keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda mencapai 61,3 persen.
Lalu ada, Parlemen Kuba (Majelis Nasional), yang beranggotakan 605 orang, 322 diantaranya diisi oleh perempuan (Pemilu 2018). Keterwakilan perempuan di parlemen Kuba mencapai 53,2 persen.
Selain itu ada juga Bolivia, dari 130 anggota parlemen Bolivia, sebanyak 69 orang adalah perempuan (Pemilu 2014). Tingkat keterwakilan perempuan Bolivia di parlemen mencapai 53,1 persen.