Religi  

Menakar Bencana, Tolak Ukur dan Sistemik dalam Kehidupan

Oleh : Lilis Suryani ( Guru dan Pegiat Literasi)

TEROPONG INDONESIA – Pemprov Jabar telah menerbitkan SK Gubernur tentang penetapan Status Siaga Darurat Bencana banjir, banjir bandang, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem, dan abrasi serta tanah longsor.

Hal ini wajar, mengingat cuaca ekstrem mulai terjadi di Jabar, sejumlah wilayah pun mulai mengalami bencana akibat dipicu faktor cuaca buruk ini.

Tanah yang sudah mengalami alih fungsi, diperparah dengan sistem drainase yang buruk membuat air hujan yang seharusnya menjadi berkah, berubah menjadi bencana yang mengerikan.

” Mirisnya, setiap tahun bencana ini terus berulang, terlebih untuk wilayah yang sudah biasa langganan bencana masyarakatnya harus pasrah dengan kondisi yang ada”

Terkait solusi atas permasalahan bencana ini pemerintah memang sudah mengupayakan berbagai hal. Namun rupanya bencana masih belum juga bisa teratasi.

Sepakat dengan pernyataan Pj Gubernur Jabar, Bey Machmudin, bahwa keberhasilan penanggulangan bencana ini bergantung pada sistem penanggulangan bencana, sarana-sarana penunjang yang mumpuni, serta koordinasi yang baik antara stakeholder dan masyarakat di wilayah rawan bencana.

“Karena pada tataran praktiknya, menanggulangi bencana tidak semudah tulisan diatas kertas. Apalagi jika sudah bersinggungan dengan kepentingan. Seringkali pemerintah tampak tak berdaya ketika berhadapan dengan pengusaha bermodal besar”

Dapat kita amati, rata-rata penyebab dan dampak beberapa bencana kerap menunjuk pada kebijakan penguasa. Contohnya, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan terutama di zona penyangga (hutan) hingga Walhi menyebut 35 persen hutan kita rusak, bahkan hilang. Juga proyek-proyek industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang jor-joran, serta penanganan daerah aliran sungai yang timbul tenggelam, dan sebagainya. Semuanya seakan sulit dilakukan karena berkelindan dengan kepentingan para pemilik modal dan oligarhkhi.

Banyak pula aktivis lingkungan yang protes tentang kebijakan Amdal yang saat ini sangat longgar. Pelaku usaha kelas kakap berani menjalankan usaha meski izin belum keluar. Tidak sedikit di antara mereka yang lolos hukum meski jelas melanggar aturan. Kongkalikong kapitalis dan pejabat penguasa memang masih jadi budaya di Indonesia.

Baca Juga :  Baznas Banyumas: “Potensi Zakat Mencapai 922 Miliar, Namun Kesadaran Zakat Hanya 55 Miliar”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *