Penulis: Dr. Ny. Umnia Labibah S.Th.i, M.Si (Divisi Perempuan, Remaja dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Banyumas, Pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an Miftahul Huda, Pesawahan, Rawalo, Banyumas)
Islam memandang pernikahan sebagai janji suci dua insani yang mengikat keduanya dalam ikatan yang disebut “mitsaqon gholidhon”, ikatan yang sangat kuat. Ikatan pernikahan diharapkan menjadi ladang menyemai cinta yang menumbuhkan sakinah mawaddah & warahmah. Alih-alih jauh dari perceraian, pernikahan diharapkan bisa langgeng seumur hidup, bukan hanya sekedar sampai rambut memutih.
Untuk itu, pernikahan disebut sebagai ibadah terpanjang, karena dijalani 24 jam seumur hidup. Untuk itu, ikhtiar mencari pasangan yang tepat sangatlah penting sehingga tujuan pernikahan dapat tercapai. Diantara bentuk ikhtiar itu adalah dengan menetapkan kriteria pasangan yang se “kufu” atau “kafaah”.
Membincang kafaah secara mubadalah, adalah mencari nilai ma’ruf dari suatu pertalian pasangan, dan bisa saja ma’ruf satu pasangan yang satu berbeda dengan yang lain. Bisa saja satu pasangan melihat pendidikan, atau nasab atau pekerjaanlah yang menjadi “kebaikan/ma’ruf” bagi kekekalan pertalian ikatan hati keduanya.
Maka dengan nilai-nilai yang dianggap penting sebagai dasar hubungan, diharapkan terwujud kesalingan dalam pernikahan. Karena pernikahan adalah terjadi karena hakikat manusia berpasangan yang artinya saling menyempurnakan. Dengan kesalingan atau mubadalah, cemistry yang dimiliki akan terjaga. Sebab kedua berjalan dalam satu frekuensi, dalam ma’ruf yang akan menjaga keduanya dalam ikatan yang memberi nilai keadilan hakiki bagi kemanusiaan keduanya.
Islam sendiri hadir memberi tauladan menetapkan kafaah, dimana agamalah yang menjadi parameter utama kriteria pasangan selaian nasab, harta dan keindahan fisik. Artinya islam membawa kafaah yang sebelumnya bersifat sosial menjadi kafaah yang bersifat kualitas aktual.
Pernikahan bukan hanya tentang penyatuan fisik. Tapi juga jiwa. So, kualitas mana yang jadi ukuran “ma’ruf” mu, yang menjadi nilai dasar mu? … Apakah kualitas material atau kualitas dan kapasitas agamanya?… Hadist nabi memberikan kita arah, pilihlah yang kuat agamanya, insya Allah kamu akan menjadi orang yang beruntung.
Setelah proses menikah, keluarga adalah tempat kita berpulang. Sebenar-benarnya rumah bagi kita. Tempat kita mengumpulkan energi yang telah berserak.
Keluargalah tempat menyemai bahagia dan kasih sayang sepanjang hayat sehingga tercipta kedamaian, cinta dan kasih sayang. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS.ar-Rum ayat 21 : “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.
Keluarga menjadi pondasi masyarakat. Jika di dalamnya dibangun atas dasa kasih sayang, saling menghargai, saling menolong, bermusyawarah. Maka akan terwujud kedamaian yang akan pula melahirkan kebahagiaan. Dari keluarga yang damai dan bahagia ini, generasi penerus islam akan lahir dengan penuh cinta kasih pula. Sehingga akan membentuk menjadi generasi penerus yang baik dan kuat (Dzurriyatan thoyyibatan), bukan generasi penerus yang lemah (dzurriyatan dli’afan).