Beberapa hari lalu, salah seorang santri yang baru saja ditinggal wafat suaminya menyapa melalui pesan whatsapp. Ia mengeluhkan keadaan ekonominya sepeninggal suaminya. Sejauh ini kebutuhan rumah tangga di penuhi bersama. Sementara ini, suaminya telah tiada dan Ia sedang dalam masa iddah.
Ia menanyakan bolehkan ia bekerja, keluar rumah sebagaimana biasa dilakukan sebelumnya yaitu berjualan keliling. Karena jika tidak, bagaimana ia memenuhi kebutuhan dasar ia kini beserta dua anaknya dan juga anak yang ada dalam kandungannya.
Dengan yakin, saya menjawab boleh. Karena keluarnya ia bersifat dhoruri, yaitu untuk memenuhi hajat dasar hidup manusia, sebagai perwujudan hifd nafs.
Dalam sebuah hadist, nabi juga pernah memberikan isyarat yg gamblang kebolehan bekerja bagi perempuan dalam masa iddah. Sebagaimana hadist riwayat Shahih Bukhori dari Jabir bin Abdulloh ra, pernah bercerita : “Bibiku cerai dengan suaminya, lalu ia keluar rumah untuk menetik kurna. Di jalan ia dihardik oleh seseorang karena kekuar rumah. Kemudian ia mendatangi Rasulullah Saw dan menceritakan apa yang menimpanya. Maka Rasul bersabda:” ya petiklah kurmamu itu. Dengan demikian semoga engkau bisa bersedekah atau berbuat kebaikan”(Shahih Muslim).
Dari hadist di atas nabi dengan tegas mempersilahkan perempuan yg sedang di masa iddah untuk keluar rumah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Tentu, saat itu saya memberi catatan, keluarlah, carilah rezeki untuk anak-anakmu. Tapi cukupkanlah dg pakaian yg sopan dan tidak berdandan. Karena di dalam syariat iddah ada hikmah mendalam, yaitu berkabungnya pasangan yg ditinggalkan dan tidak menunjukkan kebahagiaan atas wafatnya pasangannya.
Beberapa hari kemudian, saya melihat santri tersebut sudah mulai berjualan kembali. Perempuan hebat, dalam kehamilan dan kematian suaminya, ia tidak tenggelam dalam ratapan. Segera ia bisa bangkit, untuk anak-anaknya. Semoga Allah selalu melindungimu, dan mengaruniakanmu rezeki yg barokah…Aamiin.