Upacara Seren Taun, Cara Warga Kampung Adat Cireundeu Ungkap Rasa Syukur atas Rezeki Hasil Bumi yang Diterima

Tak sekadar seremoni budaya, upacara Seren Taun tersebut menjadi upaya warga Kampung Adat Cireundeu dalam melestarikan budaya leluhur. (Foto: Istimewa)

TEROPONG INDONESIA – Sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas hasil pertanian, warga Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi menggelar rangkaian upacara adat Seren Taun atau tutup tahun Saka Sunda.

Tak sekadar seremoni budaya, upacara Seren Taun tersebut menjadi upaya warga Kampung Adat Cireundeu dalam melestarikan budaya leluhur.

Tokoh masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Jajat menjelaskan, Seren Taun merupakan pesta panen sekaligus perayaan tahu baru dalam penanggalan Saka Sunda.

“Upacara Seren Taun adalah wujud rasa syukur kami kepada Tuhan atas rezeki hasil bumi yang kami terima sepanjang tahun,” jelas Jajat saat ditemui di Kampung Adat Cireundeu baru-baru ini.

“Karena masyarakat Cirendeu adalah masyarakat agraris, maka tradisi ini penting sebagai selamatan dan ungkapan syukur bersama,” sambungnya.

Dikatakan Jajat, rangkaian Seren Taun dimulai sejak tanggal 1 Sura yang bersifat internal dan hanya dihadiri masyarakat Kampung Adat Cireundeu.

“Kegiatan tersebut diisi dengan doa bersama, bubuhan (nasehat dari para orang tua), dan sungkeman sebagai simbol saling memaafkan,” katanya.

Kemudian, sambung jajat, kegiatan dilanjutkan dengan ziarah ke makam para tokoh adat dan leluhur. Sementara itu, untuk puncak acara Seren Taun dihelat pada minggu ketiga bulan Sura yang dibuka dengan proses Damar Sewu sebagai pengingat agar masyarakat tidak melupakan budayanya.

“Kita lanjutkan dengan Tari Ngayun yang menggambarkan peralihan konsumsi dari nasi beras ke nasi singkong di masa lalu,” bebernya.

Selama tiga hari berturut-turut, kata Jajat, digelar berbagai pertunjukan seni dari seniman lokal maupun luar daerah.

“Warga Hindu Bali dari Cimahi juga turut berpartisipasi dengan menampilkan tarian sakral dan tradisional. Pada hari kedua, berbagai sanggar seperti dari Banjaran, Soreang, Batujajar, dan Cirendeu ikut memeriahkan dengan seni tari, jaipongan, pencak silat, dan seni Karinding,” sebutnya.

Prosesi puncak di hari ketiga dimulai pagi hari dengan Ngajayak, arak-arakan hasil bumi yang melibatkan seluruh masyarakat.

“Mereka membawa berbagai hasil tani, mulai dari daun, bunga, buah, hingga umbi-umbian, yang diarak menuju balai adat. Prosesi ini diiringi tutunggulan, angklung buncis, dan tarian anak-anak,” katanya.

Setelah itu, digelar doa lintas iman yang dihadiri oleh perwakilan tujuh agama, termasuk satu penghayat kepercayaan dari Cirendeu sebagai tuan rumah.

“Di situlah kita bersatu, berdoa bersama lintas iman sebagai bentuk kerukunan. Setelah doa, ada pemotongan tumpeng dan makan bersama,” ujarnya.

Malamnya, lanjut Jajat, ditutup dengan gondang kreasi khas Cirendeu dan pertunjukan wayang golek semalam suntuk.

Tak hanya Seren Taun, Kampung Adat Cireundeu juga rutin menggelar upacara adat lainnya seperti Jamasan (pembersihan pusaka) yang digelar setiap bulan Mulud.

Salah satu pusaka yang dimiliki adalah Gamelan Renteng, yang diperkirakan berusia lebih dari 400 tahun.

“Selain itu, ada upacara Mulasara Sirah Cai, yakni ritual menjaga dan merawat sumber mata air sebagai bentuk kecintaan pada alam,” pungkasnya. (Gani Abdul Rahman)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *