Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen UMIBA Jakarta)
“The internet never forgets, but doxing ensures it remembers the worst.”
— Kutipan anonim yang kini terasa makin relevan di era digital hari ini.
Belum hilang dari ingatan kita, bagaimana beberapa waktu lalu seorang aktivis mahasiswa harus menonaktifkan semua akun media sosialnya setelah identitas pribadinya tersebar luas di dunia maya. Namanya, alamat rumahnya, bahkan nomor kontak ibunya disebar oleh akun-akun anonim hanya karena ia menyuarakan kritik terhadap kebijakan publik. Kemudian yang belum lama terjadi di Jawa Barat terhadap seorang perempuan aktivis demokrasi dan pemilu yang juga bernasib tak berbeda dengan mahasiswa tersebut. Inilah yang disebut sebagai doxing, bentuk kekerasan digital yang kini menjelma jadi alat pembungkaman paling keji di era demokrasi informasi.
Apa Itu Doxing?
Doxing berasal dari kata “docs“, kependekan dari documents. Istilah ini mengacu pada praktik mengungkap dan menyebarluaskan data pribadi seseorang. Seperti nama lengkap, alamat rumah, nomor telepon, bahkan data keluarga tanpa seizin pemiliknya, dan biasanya dengan niat merugikan. Doxing tidak hanya melanggar privasi, tapi juga menjadi pintu masuk menuju intimidasi, ancaman, dan kekerasan nyata di dunia fisik.
Antara Aktivisme dan Terorisme Digital
Yang membuat doxing begitu berbahaya adalah karena ia sering dikemas dalam baju aktivisme. Pelaku doxing bisa saja berdalih sedang “mengungkap kebenaran”, padahal yang terjadi adalah pembalasan terhadap perbedaan pandangan. Kritik direspons dengan serangan balik yang bersifat personal. Argumen dibungkam dengan ketakutan. Wacana publik diracuni oleh ancaman personal.
Ini bukan lagi demokrasi, tapi tirani digital. Ironisnya, hal ini justru marak di negara demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi. Artinya, doxing bukan hanya masalah etika digital, tapi ancaman serius bagi iklim kebebasan berpendapat di ruang publik.
Rentannya Siapa Saja
Tidak ada yang kebal dari doxing. Aktivis, akademisi, jurnalis, bahkan pelajar sekalipun bisa menjadi korban. Satu unggahan yang tidak sejalan dengan arus opini populer bisa berujung pada “penggalian informasi” yang masif oleh akun-akun anonim. Bukan tak mungkin, aparat pemerintah, bahkan tokoh agama, menjadi pelaku atau korban doxing sadar atau tidak.
Bagi sebagian orang, ini dianggap “resiko” berbicara di ruang publik. Tapi narasi seperti ini berbahaya. Ia membuat korban merasa bersalah karena bersuara, dan pelaku merasa benar karena membungkam. Padahal, doxing bukan hanya tindakan tidak etis, tapi juga pelanggaran hukum.
Celah Hukum dan Lemahnya Penegakan
Di Indonesia, doxing bisa dijerat melalui UU ITE, khususnya pasal-pasal terkait distribusi data pribadi tanpa persetujuan. Namun dalam praktiknya, penanganan kasus doxing masih lambat dan minim keberpihakan kepada korban. Banyak korban tidak tahu harus melapor ke mana, atau merasa tak akan ada perlindungan yang memadai.
Apalagi, pelaku doxing sering menggunakan akun anonim, menyebar melalui grup tertutup, dan berpindah-pindah platform. Teknologi mereka selangkah lebih maju dari sistem hukum yang ada. Dalam kondisi seperti ini, negara harus hadir bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pelindung warga digital.
Media Sosial dan “Crowd Punishment”
Platform digital hari ini sering menjadi arena penghakiman massal. Banyak kasus doxing bermula dari quote tweet, thread expose, atau unggahan video yang viral. Tanpa disadari, ribuan akun ikut menjadi bagian dari ekosistem kekerasan digital. Ini yang disebut crowd punishment, atau hukuman massal yang tidak terkontrol, tanpa pengadilan, tanpa klarifikasi. Apakah kita sadar bahwa satu retweet kita bisa membuat hidup seseorang berubah selamanya?
Menjaga Etika di Ruang Digital
Di sinilah pentingnya pendidikan literasi digital. Bukan sekadar mengajarkan cara menggunakan media sosial, tapi juga membangun kesadaran tentang dampak dari setiap tindakan digital. Kita perlu menginternalisasi bahwa privasi bukanlah hak yang bisa dicabut hanya karena tidak setuju.
Etika digital bukan sekadar tata krama, melainkan fondasi dari peradaban yang saling menghormati di tengah keterbukaan. Ruang digital seharusnya menjadi tempat berbagi ide, bukan menyebar data pribadi. Menjadi tempat bertukar pikiran, bukan menebar ketakutan.
Saatnya Bertindak: Dari Negara, Platform, dan Kita
Pemerintah perlu memperkuat perangkat hukum dan mekanisme pelaporan bagi korban doxing. Platform media sosial perlu mempercepat deteksi dan penindakan terhadap pelaku penyebaran data pribadi. Dan yang paling penting: kita semua perlu sadar bahwa satu klik bisa jadi senjata.
Mari kita bangun ruang digital yang sehat dan aman. Tempat perbedaan bisa dirayakan, bukan dihukum. Tempat pendapat bisa diadu, bukan diburu.
Privasi adalah hak asasi. Jangan biarkan ia dikoyak hanya karena kita punya akses untuk melakukannya.





