Penulis: Dr. Ny. Umnia Labibah S.Th.i, M.Si
Hari ini, penyebutan “sunnah” pada model pernikahan masih lebih sering dilekatkan pada praktik poligami. Sementara monogami, alih-alih dianggap sunnah, para promotornya dianggap sebagai inkar sunnah.
Keduanya, sama-sama dilakukan nabi. Bahkan monogami jauh lebih lama dipilih nabi dalam perjalanan pernikahanya. Menikah di usia 25 tahun dengan Khadijah yg saat itu berusia 40 tahun, atau 15 tahun lebih tua. Nyatanya pernikahan ini bertahan selama 25 tahun dan dipisahkan oleh wafatnya Khadijah. Khadijah menemani masa2 kehidupan nabi diusia produktif dan menjadi teman di masa sulit di awal keterutusan nabi. Setidaknya 15 tahun senelum menjadi nabi dan 10 setelah diangkat menjadi nabi.
Sepeninggal Khadijah, nabi tidak serta merta mencari pengganti. Melewati masa berat ‘amul huzni hingga hijrah, nabi menikah lagi di tahun kedua dr masa hijrahnya setelah terjadi banyak peperangan yg banyak merenggut nyawa para sahabatnya. Poligami nabi dijalani dari usia 55 tahun hingga akhir usia atau selama 8 tahun.
Dari catatan sederhana ini, jika kita meyakini apa yg dilakukan nabi adalah sunnah, maka sebutan sunnah semestinya tidak hanya dilekatkan pada poligami, tetapi juga pada sunnah monogami yang justru lebih lama dipilih nabi dalam pernikahanya.
Dari sisi ayat, dalam penelusuran Kyai Faqih Abdul Kodir yg dituangkan dalam buku “Sunnah Monogami”, mayoritas ulama dalam kitab tafsirnya atas ayat an-Nisa: 3, tidak menyebut ayat tersebut sebagai perintah poligami. Sebaliknya, pada ayat tersebut, secara komposisi 3 kali menekankan nilai yg mensuport monogami dan hanya sekali yg membicarakan poligami. 3 hal nilai ayat yg mensuport monogami adalah : disebutnya keadilan “fainkhiftum alla tuqsithu”, diberi jalan monogami “fain khiftum alla ta’dilu fawahidatan” dan peringatan mencukupkan diri dg yg ada dan agar mengurangi perbuatan yg mengarah pada berbuat aniaya “dzalika adnaa alla ta’ulu”.
Konteks ayat baik sebelum dan sesudahnya sama-sama sedang membicarakan anak yatim. Yg dapat dipahami bahwa banyak anak perempuan yatim saat masa awal kenabian yg dibawah perwalian kemudian dinikahi dengan tujuan menguasai harta yatim tersebut bahkan tanpa memberi mahar. Sehingga ayat ini sedamg memberi peringatan dari pada menikahi anak yatim dg tujuan yg tidak benar maka nikahilah perempuan lain. Sebagaimana diriwayatkan daribUrwah binti Asma saat berdialog dg Aisyah ttg ayat tersebut.
Di lain pihak, dalam prespektif ini, al-Qur’an sedang dalam upaya melindungi perempuan dari perbuatan dzalim yg mudah menimpanya. Baik karena pernikahan poligami maupun sebagai anak yatim. Dengan nalar logiknya jika pada masa itu poligami dianggap sesuatu yg lumrah, maka perbuatan dzalim yg diakibatkannya seringkali dianggap lumrah dan suara perempuan disini lemah. Maka dg peringatan untuk tidak dzalim pada anak yatim, seharusnya menjadi perintah tegak lurus untuk tidak dzalim pula pada perempuan. Diantaranya karena poligami.
Disini, menempatkan ayat/teks dan “membaca”nya menjadi sangat bergantung pada pembacanya. Prespektif perlindunganpada yg lemah “mustad’fiin”, termasuk perempuan semestinya digunakan sebagaimana al-Quran sendiri bervisi demikian. Dari setahap ke tahap berikutnya menguatkan kehormatan kemanusiaan perempuan. Namun jika membaca secara positifistik, yg ditangkap secara dangkal hanya persoalan halal haram, dan tidak menangkap visi perlindungan sebagai garis utamanya.
Melindungi perempuan dari perbuatan aniaya akibat poligami yg di nash di syaratkan adil, dan keadilan yg disebutkan tidak bisa dicapai (QS.an-Nisa: 30), maka pesan al-Quran sangat kuat mengarusutamakan monogami.
Menyuarakan sunnah monogami, mesti terus digaungkan, diantara para pendakwah poligami yg selalu punya 1001 alasan untuknya. Pernikahan sebagaimana disebutkan QS ar-Rum:30 adalah untuk mencapai sakinah, mawaddah dan rahmah. Dalam hidup berpasangan yg saling menghargai (hunna libasullakum wa antum libadullahunn). Bagaimana akan mencapainya jika hati terbagi-bagi..