(TEROPONG INDONESIA)-, Staf Khusus Menteri Agama RI (Stafsus Menag) Bidang Komunikasi Publik dan Teknologi Sistem Informasi Wibowo Prasetyo menilai, peran para jurnalis sangat efektif dalam membangun kerukunan umat beragama di Indonesia. Lewat pemahaman yang komprehensif akan pentingnya kerukunan, jurnalis tidak mudah dalam memublikasikan informasi yang berpotensi memecah persatuan bangsa.
“Di tengah berbagai keberagaman yang dimiliki bangsa ini, potensi ketegangan yang dipicu isu agama atau lainnya kapan saja bisa akan muncul. Akan selalu ada pihak-pihak yang memanfaatkan atau mempertentangkan. Namun pers sangat efektif dalam membantu menenteramkan situasi melalui narasi-narasi yang menyejukkan,” ujar Wibowo saat berdiskusi dengan kalangan jurnalis di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Sabtu (11/11/2023) malam.
Turut mendampingi, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Ahmad Fauzin, serta Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu Susari.
Menurut Wibowo, tantangan jurnalis dalam menjaga kerukunan bangsa semakin besar di saat Indonesia memasuki tahun politik saat ini. Sebab, untuk memuluskan kepentingan politik praktisnya, kerap ada aktor-aktor politik yang menggunakan isu agama demi meningkatkan sisi elektoral dan lain sebagainya. Hal ini patut diwaspadai karena penggunaan isu agama sangatlah rawan memecah persatuan umat maupun bangsa. Di sinilah pers harus juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga Indonesia agar tetap bisa kondusif.
“Pers juga efektif dalam membantu literasi anak-anak muda terutama generasi Z yang cenderung lemah dalam hal kurasi atas informasi, termasuk soal agama. Anak-anak muda ini perlu diarahkan karena mereka yang akan memimpin Indonesa 15 hingga 30 tahun mendatang. Para jurnalis juga harus membantu dalam upaya peningkatan literasi keagamaan anak muda agar tidak jadi bom waktu,” terang Wibowo yang juga mantan jurnalis di berbagai media nasional dan regional ini.
Wibowo menegaskan, penguatan moderasi beragama penting untuk dilakukan agar Indonesia terus kokoh di tengah berbagai kebhinekaan yang ada di dalamnya. Ia menjelaskan, ada empat indikator penguatan praktik moderasi beragama, yakni: komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi.
“Ada yang bertanya, kenapa agama harus dimoderasi. Bukan begitu. Yang kita moderasi bukan agamanya, namun cara pandang, sikap dan perilaku kita dalam beragama, agar kita saling menghormati keyakinan dan agama sesama umat beragama,” ujar aktivis muda NU tersebut.
Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu Kementerian Agama Susari secara khusus menyoroti praktik moderasi beragama di Kabupaten Wonosobo yang telah berjalan dengan baik. Susari berharap, terbinanya kerukunan ini tak lepas dari peran banyak pihak termasuk kalangan pers. Untuk itu, dia mengajak para jurnalis Wonosobo semakin menguatkan pemahamannya akan moderasi beragama agar jika ada pihak tertentu berupaya memecah belah persatuan bangsa bisa lebih dini dicegah.
“Penguatan moderasi beragama ini penting dalam memperkokoh persatuan di tengah perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Saya melihat kemajemukan di Wonosobo sudah terbina dengan bagus. Misalnya saya tadi ketemu penjaga Kelenteng Hok Hoo Bio yang ternyata muslim. Di sini sudah biasa dan tak perlu dipertentangkan,” jelasnya.