Kontekstualisasi Pembaruan Islam

Penulis: Yaqut Cholil Qoumas, ( Menteri Agama RI, Sumber: kemenag.go.id)

Gerakan dan kadang umumnya mengatasnamakan pemurnian Islam (kadang disebut pembaharu Islam, gerakan tajdid, modernisme, purifikasi, puritan dan sebagainya) merupakan fenomena yang lazim ditemukan dalam sejarah pemikiran dan dakwah Islam. Gerakan itu silih berganti bermunculan dan saling mengklaim diri sebagai pengamal Islam yang otentik. Yakni, Islam murni yang diklaim paling sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits.

Gerakan ini merupakan fenomena penting dalam perkembangan Islam. Secara teologis, dorongan melakukan pembaruan diisyaratkan dalam hadits (HR. Abu Dawud): “Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus untuk umat ini pada setiap seratus tahun seseorang yang melakukan memperbaharui agamanya.” Berdasarkan hadits ini, menurut Imam Suyuthi, mujaddid abad I hijriah adalah ‘Umar ibn Abdul Aziz, dan abad XII adalah Ahmad ibn ‘Umar bin Smit ‘Alawi. Pada abad XIV dan XV belum ada mujaddid yang disepakati.

Secara sosiologis, gerakan pemurnian ini muncul secara periodik. Kelahirannya selalu dikaitkan dengan keadaan umat Islam dianggap mulai menyimpang dari ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadits), Islam mengalami kemunduran ekonomi, politik dan kemerosotan moral, umat Islam terdesak akibat masalah politik, baik internal atau eksternal (kolonialisme).

Menurut penganjur purifikasi, kemunduran Islam disebabkan umatnya telah menyimpang dari Al-Qur’an dan hadits. Untuk mencapai kejayaan Islam kembali, agama harus dibersihkan dari segala penyimpangan. Gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah (al-ruju’ ila al-qur’an wa al-sunnah) digaungkan, tetapi dengan aksentuasi yang menimbulkan polemik di internal umat Islam. Mereka mencela Barat dan segala produk kemajuannya.

Pengusung pemurnian Islam ini memahami agama secara normatif. Acuannya hanya teks (nash). Teks dipahami secara literal (harfiah). Tak ada peran rasio untuk memahami dan menafsirkan kitab suci. Mereka bersandar pada sanad salafus salih, tetapi pilih kasih. Hanya yang sesuai dengan pandangan mereka yang disebut. Selebihnya diabaikan. Padahal secara waktu dan genealogi ilmu, mereka sezaman atau bahkan pernah bertemu langsung.

Baca Juga :  Bupati Akan Sholat Idul Fitri 1444 H di Alun-Alun Purwokerto & Open House di Pendopo Si Panji

Untuk menyebarkan keyakinannya, mereka menggunakan dakwah belah bambu. Mengangkat tinggi kelompoknya, merendahkan kelompok lain. Cara berpikir kolonialisme diadopsi kelompok puritan ini untuk menaklukkan teritori, pikiran dan budaya kelompok Islam lain. Untuk menguasai lawan, mereka menetapkan negative labelling kepada siapa yang berbeda (the others) dan positive labelling dicitrakan kepada diri sendiri (self). Perhatikan bagaimana kelompok puritan berdakwah. Materinya selalu mengoreksi amaliah kelompok lain. Mereka mengecam ormas Islam dan orang yang berada di luar dirinya sebagai yang sesat dan menyimpang dari Islam murni, sementara diri dan organisasi yang digelutinya berjalan di atas syari’at Islam.

The other ditundukkan dan dimarginalisasikan sebagai ahli bidah, sesat dan pelaku syirik berdasarkan doktrin-doktrin agama yang dipahami seenaknya sendiri, secara harfiah dan literal. Mereka tidak mengenal persoalan ushuliyyah (pokok) dan furu’iyyah (cabang). Otomatis, mereka tidak paham soal majal al-khilaf (arena perbedaan pendapat). Pandangan dikotomik atau bipolar makin memperkuat klaim yang paling murni itu, misalnya, Islam murni sering dilawankan dengan Islam sinkretik.

Bercermin Setengah Hati

Umat Islam sepakat bahwa Rasulullah SAW, para shahabat dan tabi’in merupakan cermin dan panutan utama dalam kehidupan. Islam pada tiga masa itulah yang didefinisikan sebagai Islam ideal, murni dan otentik (al-ashalah). Asumsi tersebut berasal dari hadits Rasulullah SAW bahwa: ”Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya (khair al-quruni qarni tsumma alladzina yalunahum tsumma alladzina yalunahum). (HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635).

Sayangnya, pemahaman atas hadits ini dipolitisir. Hanya kelompok mereka yang mengikuti salafus salih (generasi terdahulu yang salih) di atas. Di luar mereka, dianggap mengikuti jalan sesat generasi belakangan (al-khalaf). Melalui hadits di atas juga, mereka menyusun teori dan kriteria tentang keharaman bid’ah: yakni melakukan amaliah ibadah yang tidak dicontohkan Rasulullah SAW.

Baca Juga :  Antusiasme Masyarakat Indonesia Bantu Palestina Tinggi, Pemerintah Siapkan Pengiriman Bantuan Selanjutnya

Dalam bayangan gerakan pemurnian, Islam yang seperti inilah yang telah lama hilang dari masyarakat muslim, baik disebabkan karena kelalaian atau ’disengaja dicuri’ orang lain. Oleh karena itu, sebagian umat Islam di setiap babakan sejarah memandang perlu selalu mencari otentisitas Islam agar memperoleh kembali zaman keemasannya. Keinginan untuk mengkopi kehidupan Rasulullah SAW untuk diterapkan di masa sekarang, begitu menggebu tetapi tidak masuk akal. Meniru secara harfiah tanpa memperhatikan perubahan zaman. Apalagi, tidak bisa membedakan antara ajaran atau tafsir agama. Nabi Muhammad SAW jelas tidak mengajarkan soal bentuk negara, tetapi mereka ngotot menyatakan sebaliknya.

Perlu ditegaskan, pembaruan Islam bukan agenda kelompok Islam tertentu. Pembaruan Islam merupakan tema seluruh umat Islam. Karena itu, perlu dirumuskan agenda pembaruan yang jujur, kontekstual, dan rasional dengan tetap berlandaskan spirit Ilahiah. Umat Islam harus didorong untuk menguasai sains dan teknologi. Cara-cara lama pembaruan Islam, seperti penyematan label bid’ah, sesat dan sejenis, sudah usang dan tidak perlu digunakan. Terbukti, dakwah mereka dilematik dan menimbulkan resistensi di masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *