TEROPONG INDONESIA – Kasus korupsi pengadaan laboratorium pengujian masker N-95 di Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung mulai memasuki babak baru usai Kuasa Hukum Wibowo Dwi Hartoto, eks Kepala Balai Besar Tekstil Kementerian Perindustrian, Subali mengajukan Praperadilan.
Langkah hukum tersebut ditempuh Subali atas permohonan Istriningsih yang tak lain istri Wibowo dan telah terdaftar dengan nomor 22. Sidang tersebut rencananya akan digelar pada Jumat, 3 Oktober 2025 di Pengadilan Negeri Bandung.
“Penetapan klien kami sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat uji masker N95 tidak sah dan bertentangan dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Covid-19,” kata Subali saat ditemui di Bandung, Selasa 23 September 2025 malam.
Subali menjelaskan bahwa kasus ini bermula pada April 2020, saat pandemi Covid-19 tengah memuncak. Balai Besar Tekstil (BBT) Bandung menerima informasi dari Tim Pakar Gugus Covid-19 dan BNPB untuk mendukung penanganan pandemi dengan menyediakan alat uji masker N95.
“Anggaran untuk pengadaan ini dijanjikan dari DIPA BNPB,” jelas Subali.
Subali menuturkan, Wibowo Dwi Hartoto, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Balai Besar Tekstil, segera menindaklanjuti informasi tersebut dengan melibatkan Sandi Sufiandi (Peneliti LIPI) dan Bambang Setiyadi (Direktur PT. Duo Alsakhi Putri) untuk menyusun referensi kebutuhan alat dan proposal pendirian laboratorium pengujian masker N95.
Proposal senilai Rp11.206.415.000,00 itu diajukan pada 9 April 2020, namun kemudian direvisi menjadi Rp8.081.590.000,00 setelah mempertimbangkan keterbatasan sumber daya manusia dan persyaratan laboratorium Biosafety Level 3 (LAB BSL-3) di Balai Besar Tekstil.
“Proses ini dilakukan secara transparan, melibatkan reviu dari Inspektorat Jenderal Kementerian Perindustrian atas permintaan BNPB, dan diakhiri dengan penandatanganan perjanjian kerja sama antara BNPB dan Kementerian Perindustrian,” ujar Subali.
Dana kemudian ditransfer ke rekening Bendahara Pengeluaran Pembantu Balai Besar Tekstil pada 8 Oktober 2020, setelah Wibowo menandatangani Surat Tanggung Jawab Mutlak sebagai Kepala Satker.
Namun, lanjut dia, Wibowo menerima Surat Pemberitahuan Penetapan Tersangka pada 7 Maret 2025 dari Polda Jawa Barat, yang menurut Subali sangat mengejutkan kliennya.
Menurutnya, penetapan tersangka ini sebagai tindakan kesewenang-wenangan dan melanggar Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
“Pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanganan Covid-19 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis, dan bukan merupakan kerugian keuangan negara,” ungkapnya.
Subali menegaskan bahwa tindakan Wibowo adalah upaya nyata dan cepat tanggap dalam penanganan pandemi, sesuai dengan instruksi dan prosedur yang berlaku saat itu, serta merupakan bagian dari kebijakan negara.
Tak cuma itu, Subali juga menyoroti bahwa penetapan tersangka terhadap Wibowo berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak sah karena bertentangan dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
“Kami memohon agar Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan permohonan praperadilan kami seluruhnya, menyatakan penetapan tersangka tidak sah, membatalkan segala keputusan atau penetapan lanjutan terkait penahanan dan penyidikan, memerintahkan pembebasan klien kami dari tahanan, serta memulihkan hak, kedudukan, harkat, dan martabatnya,” tegas Subali.
Subali menambahkan bahwa dasar pengajuan praperadilan ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang masih berlaku hingga saat ini. Ia juga menyoroti Pasal 27 dan 28 dalam Perppu tersebut, yang menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam penanganan Covid-19 bukan merupakan kerugian negara.
“Dan ketentuan pasal-pasal tertentu dari undang-undang tentang keuangan negara dan perbendaharaan keuangan negara dinyatakan tidak berlaku,” bebernya.
Selain itu, Subali mengungkapkan bahwa ia sempat mengadukan laporan ke Mabes Polri dan mendapatkan rekomendasi untuk mengajukan gelar perkara atau praperadilan. Ia memilih praperadilan.
Subali juga membantah kesaksian Bambang, seorang saksi yang sudah divonis, yang menyatakan bahwa Wibowo menerima aliran dana sebesar Rp200 juta.
“Jadi Pak Wibowo tidak menerima satu rupiah pun terkait anggaran Covid-19,” tegasnya.
Subali menjelaskan bahwa ada kontrak pembangunan rumah tinggal antara Wibowo dan Bambang senilai Rp350 juta, yang telah dibayarkan oleh Wibowo dari uang pribadinya hasil penjualan mobil CRV.
“Kami pastikan itu tidak benar. Yang benar, Pak Bowo itu ada perjanjian untuk membeli rumah senilai Rp350 juta dengan harga per meternya Rp1,5 juta. Total luas tanah dan bangunan 200 meter² di Desa Pakuhaji, Bandung Barat,” pungkas Subali.***





