Lebih dari Sekadar Tradisi, ini Makna dari Rasi Makanan Pokok Warga Kampung Adat Cireundeu

Seolah tak terdistraksi modernitas, warga Kampung Adat Cireundeu secara konsisten tetap menjaga tradisi mengonsumsi rasi.

TEROPONG INDONESIA – Bagi sebagian orang mungkin masih asing dengan istilah beras singkong atau Rasi. Namun, bagi warga Kampung Adat Cireundeu rasi merupakan makanan pokok yang telah dikonsumsi sejak 15 abad silam.

Seolah tak terdistraksi modernitas, warga Kampung Adat Cireundeu secara konsisten tetap menjaga tradisi mengonsumsi rasi.

Bahkan, bagi mereka rasi lebih dari sekadar tradisi melainkan implementasi nyata dari pelestarian nilai-nilai leluhur serta upaya menjaga keberlanjutan lingkungan.

Salah satu tokoh masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Jajat menuturkan, rasi sebenarnya merupakan nama baru yang muncul setelah Kampung Adat Cireundeu dijadikan percontohan program ketahanan pangan nasional.

“Nama aslinya sangun. Kalau sudah dimasak, namanya jadi sangun sampe. Sangun adalah bahan dasar nasi singkong,” kata Jajat saat ditemui di Kampung Adat Cireundeu baru-baru ini.

Menurutnya, keberlanjutan konsumsi nasi singkong di Cireundeu ini tidak terlepas dari amanat leluhur yang diwariskan kepada para sesepuh kampung.

“Kami diamanatkan untuk menjaga alam, karena kalau tidak dijaga, tempat tinggal ini akan dipenuhi tangtungan,” tuturnya.

Dalam istilah Sunda, jelas Jajat, tangtungan memiliki dua makna, yakni keramaian dan berdirinya bangunan.

“Alih fungsi lahan jadi perumahan, pabrik, atau mal adalah bentuk nyata dari tangtungan itu,” jelasnya.

Lebih lanjut Jajat menerangkan, tradisi mengonsumsi singkong yang dilakukan masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki akar historis yang kuat.

“Jadi, pada masa penjajahan Belanda, beras menjadi komoditas yang dirampas penjajah dan sebagai bentuk perlawanan, Mama Ali, tokoh sepuh Kampung Adat Cireundeu mengajak masyarakat beralih dari nasi beras ke pangan lokal,” terangnya.

Kemudian, lanjut Jajat, pada tahun 1918 masyarakat Cireundeu sepakat untuk melakukan ‘Nunda Kersaning Nyai’ atau dalam bahasa Indonesia tak lagi makan nasi beras.

“Pada tahun 1924, Ibu Omah Asnama menemukan cara mengolah singkong menjadi rasi,” ujarnya.

Diketahui, ibu Omah Asnama merupakan menantu Mama Ali yang memegang peranan penting dalam transformasi makanan pokok masyarakat Cireundeu dari padi ke singkong, yang kemudian menghasilkan rasi sebagai makanan khas Kampung Adat Cireundeu.

“Ibu Omah sendiri bahkan sempat ditahan oleh Belanda karena dianggap berbahaya, lantaran aktivitasnya mengajak warga mengganti beras dengan singkong selalu diselipkan dengan semangat kemerdekaan,” sambungnya.

Di era modern, lanjut Jajat, rasi tak hanya bertahan sebagai makanan pokok, namun juga telah dikembangkan menjadi berbagai produk olahan.

Sejak tahun 2010, berkat kerjasama dengan mahasiswa Teknologi Pangan UNPAD, masyarakat Cirendeu berhasil menciptakan lebih dari 10 produk turunan dari rasi.

“Kita buat kue semprong, kue kering, dan sekarang sudah ada mie dari tepung RASI,” sebutnya.

Produk-produk ini dikembangkan melalui UMKM lokal dan mulai dikenalkan ke pasar lebih luas, termasuk secara online oleh generasi muda Cirendeu.

Meski sempat mencoba menjual produk rasi di luar Cirendeu, seperti di Dago dan Kebun Binatang Bandung, penjualan kurang diminati.

“Akhirnya kami fokus jualan di sini saja. Pengunjung ke Cirendeu bisa mencapai 1000–1500 orang per bulan. Cukup untuk menopang penjualan,” pungkasnya. (Gani Abdul Rahman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *