Mengembalikan Fitrah Informasi

Kehadiran internet telah mendorong kehidupan manusia masuk ke dalam era informasi. Akan tetapi, secara bersamaan dan massal, posisi informasi justru terkesan kian tercerabut dari akar dan asal makna yang dimilikinya.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), misalnya, telah mencatat sebanyak 9.417 temuan isu hoaks selama periode Agustus 2018 hingga 16 Februari 2023. Selain itu, terdapat pula 1.730 kasus penipuan pada periode yang sama.

Literasi digital digadang-gadang perlu dikampanyekan dengan masif demi menghindarkan masyarakat dari disinformasi, misinformasi, malinformasi, hoaks, hingga penipuan. Namun, yang tidak kalah penting adalah untuk bersama-sama kembali mengingat makna dan tujuan hakiki sebuah informasi.

Makna Asal Informasi

Informasi adalah garis besar, konsep, dan ide. Setidaknya, itulah makna yang muncul ketika informasi ditarik dari lafal awalnya, yakni informacion (Perancis kuno) dan informationem (Latin). Garis besar, konsep, atau ide tersebut tiada lain adalah makna spesifik dari pengetahuan yang kemudian perlu dikomunikasikan, disebarluaskan.

Bahkan, Prof Soekidjo Notoatmodjo dalam Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan (2008) menjelaskan, sebagaimana sifat pengetahuan, informasi bisa berfungsi membantu mengurangi rasa cemas seseorang. Semakin banyak informasi yang diterima, maka itu akan memengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang sehingga menimbulkan kesadaran untuk berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Singkat kata, informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk lebih berguna dan berarti bagi siapa pun yang memerlukan. Informasi merupakan data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga mampu meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan. Para pembuat keputusan memahami bahwa informasi menjadi faktor kritis dalam menentukan kesuksesan atau kegagalan dalam suatu bidang usaha.

Profesor Tom Wilson, dalam Information Behaviour: An Interdisciplinary Perspective (1996) menyebut, pada sistem apapun, jangan sampai ada informasi tidak berguna. Sebab, sistem tersebut akan mengalami kemacetan dan terhenti. Apalagi, tentu, jika informasi itu malah mewujud sebagai sesuatu yang kamuflase, mengelabuhi, apalagi hoaks.

Baca Juga :  36 Persen Politeknik Negeri Berstatus BLU

Informasi yang Fitri

Kamus Encarta (2009) memaknai informasi sebagai pemerolehan pengetahuan secara tegas, pemasokan sesuatu, mendapatkan sesuatu. Bisa juga sebuah pemerolehan fakta, kumpulan fakta atau data mengenai subjek tertentu. Sedangkan kebutuhan terhadap informasi bisa dilatari pada tiga motif, yakni dorongan diri sendiri, kebutuhan keputusan, serta kepentingan sosial.

Sebuah informasi harus dapat dipercaya. Pasalnya, tingkat kepercayaan informasi akan memberi dampak pada hasil keputusan yang diambil bagi seseorang maupun lembaga. Terlepas dari proses penerbitan informasi secara menyeluruh, hal ini menjadi pertaruhan bagi kerja-kerja informasi untuk kepentingan lembaga, seperti kerja-kerja tim kehumasan, misalnya.

Menurut Profesor Onong Uchjana Effendy dalam Ilmu Komunikasi (2004), ada tiga fungsi yang dimiliki oleh pemraktik hubungan masyarakat (humas). Yaitu, mengetahui secara pasti dan mengevaluasi opini publik yang berkaitan dengan organisasinya. Berikutnya, menasihati para eksekutif atau pengambil kebijakan mengenai cara-cara menangani opini publik yang timbul. Sedangkan fungsi ketiga, menggunakan komunikasi untuk mempengaruhi opini publik.

Segala hal dalam proses perekaman opini publik itu tentu perlu dikerjakan secara serius, terbuka, dan jujur. Begitu pula di saat pelaporannya, informasi yang menjadi bahan pertimbangan langkah lembaga tidak sah jika hanya ingin menampilkan judul “asal bapak senang” atau informasi bias yang berpotensi menjadikan semuanya salah langkah.

Oleh karenanya, demi tujuan individu maupun manajemen, pengertian dan pemahaman informasi mesti dikembalikan kepada makna asalnya. Seperti dalam memahami semangat Idulfitri, cendekiawan Muslim Profesor Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) menjelaskan bahwa Id berarti kembali dan fitri bermakana kesucian atau asal kejadian. Alhasil, momentum idulfirti sudah sepatutnya menjadi pendorong untuk mengembalikan kesucian dan kejujuran sebagai roh informasi.*

Baca Juga :  Deeper Learning: Konsep, Praktik, Tantangan, dan Solusi Implementasinya

Hayatul Islam (Ketua Forum Humas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri/PTKIN / Sumber: Kemenag.go.id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *