Oleh Asep Tapip Yani
Dosen UMIBA Jakarta
“There is no such thing as a single-issue struggle because we do not live single-issue lives.”
— Audre Lorde
“Intersections are where the most complex conversations happen. And where transformation begins.”— Kimberlé Crenshaw
Di ruang kelas, kita sering menganggap semua siswa berada dalam garis start yang sama. Namun, realitas sosial tak seindah papan tulis. Ada anak yang datang ke sekolah dengan beban diskriminasi rasial, tekanan ekonomi, norma gender yang mengekang, atau bahkan tubuh yang tak dianggap sesuai “standar normal”.
Pendidikan kerap dianggap netral, padahal ia beroperasi dalam sistem yang sarat bias. Di sinilah pendidikan interseksional hadir: bukan sekadar pendekatan inklusif, tetapi lensa kritis untuk melihat bagaimana berbagai bentuk penindasan bisa saling tumpang tindih dan memperparah ketimpangan dalam ruang belajar.
Konsep interseksionalitas pertama kali dicetuskan oleh Kimberlé Crenshaw, seorang akademisi hukum kulit hitam asal Amerika Serikat. Ia menunjukkan bahwa seseorang bisa mengalami diskriminasi bukan karena satu identitasnya saja, misalnya perempuan atau kulit hitam, melainkan kombinasi keduanya. Dalam konteks pendidikan, pendekatan ini memperluas cara pandang kita terhadap ketimpangan belajar yang selama ini dianggap “biasa”.
Model pendidikan berbasis interseksional adalah pendekatan progresif yang menempatkan keadilan sosial dan kesetaraan sebagai fondasi utama dalam merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi proses pendidikan. Pendekatan ini melampaui paradigma inklusi tradisional dengan memperhitungkan bagaimana berbagai bentuk identitas dan kekuasaan yang seringkali saling bertumpang tindih dan berkelindan mempengaruhi pengalaman belajar siswa.
Lebih dari Sekadar “Berbeda”
Setiap anak membawa identitas sosial yang berlapis: gender, ras, etnisitas, agama, orientasi seksual, disabilitas, bahasa ibu, status ekonomi, bahkan status pengungsi atau anak buruh migran. Sayangnya, masih banyak sistem Pendidikan yang dirancang untuk “satu jenis siswa” misalnya, yang laki-laki, mayoritas, sehat secara fisik dan mental, dan berasal dari keluarga mampu.
Model pendidikan interseksional tidak sekadar mengakomodasi keragaman ini, tapi mengakui bahwa setiap lapisan identitas punya konsekuensi sosial yang konkret. Misalnya, anak perempuan dari komunitas adat yang miskin akan menghadapi tantangan berlapis dibandingkan teman laki-lakinya dari kota.
Dengan memakai lensa ini, kita bisa lebih jujur dan terbuka terhadap kenyataan bahwa banyak kebijakan pendidikan yang secara tak sadar memperkuat ketimpangan. Mulai dari ujian berbasis standar tunggal, kurikulum yang bias budaya, hingga aturan berpakaian yang mendiskriminasi identitas gender tertentu.
Sekolah yang Mengerti Muridnya
Apa artinya menerapkan pendidikan interseksional? Pertama, kita perlu mengubah cara pandang: dari “semua anak harus diperlakukan sama” menjadi “setiap anak butuh perlakuan yang adil dan sesuai konteksnya”. Kesetaraan bukan soal seragam, tapi soal menciptakan ruang aman bagi semua.
Kedua, sekolah harus menjadi tempat yang tidak hanya mengajarkan, tetapi juga mendengarkan. Ini berarti melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan, membuka ruang ekspresi tanpa takut dihakimi, dan mengizinkan suara-suara marjinal untuk tampil di depan kelas.
Ketiga, guru perlu mendapat pelatihan bukan hanya soal pedagogi, tapi juga kesadaran sosial. Guru bukan robot penghafal kurikulum, melainkan penggerak empati yang bisa membaca cerita murid dari balik rapor dan angka-angka.
Keempat, kurikulum harus ditinjau ulang: adakah tokoh perempuan dalam buku sejarah? Apakah budaya lokal disebutkan dalam pelajaran geografi? Adakah kisah penyandang disabilitas dalam bacaan siswa? Pendidikan interseksional mengajak kita untuk menulis ulang narasi besar yang selama ini mengecualikan banyak orang.
Faktor-faktor Kunci dalam Pendidikan Berbasis Interseksional
- Identitas Sosial yang Beragam
Setiap siswa membawa spektrum identitas yang kompleks—termasuk ras, etnisitas, gender, orientasi seksual, disabilitas, agama, bahasa ibu, dan status sosial lainnya. Pendidikan interseksional tidak memperlakukan perbedaan ini sebagai “tantangan”, tetapi sebagai kekayaan dan sumber pembelajaran. - Kelas Sosial dan Latar Ekonomi
Akses terhadap pendidikan berkualitas masih sangat ditentukan oleh status ekonomi. Interseksionalitas mendorong kebijakan afirmatif untuk siswa dari keluarga miskin, pekerja migran, anak jalanan, dan kelompok marjinal lainnya. - Budaya dan Praktik Lokal
Kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang homogen dan berbasis dominasi budaya mayoritas seringkali mengabaikan kearifan lokal dan praktik budaya komunitas minoritas. Pendidikan interseksional mengusulkan pelibatan nilai-nilai lokal sebagai bagian dari kurikulum yang relevan dan kontekstual. - Bahasa dan Aksesibilitas
Bahasa pengantar yang tidak dimengerti oleh sebagian siswa, atau media belajar yang tidak ramah disabilitas, adalah bentuk eksklusi sistemik yang kerap tak terlihat. Model ini menuntut adaptasi bahasa, teknologi, dan pendekatan pedagogik untuk menjamin keterjangkauan akses belajar. - Relasi Kuasa di Sekolah
Guru bukan hanya pengajar, tapi juga pemegang otoritas. Model interseksional menuntut refleksi kritis atas relasi kuasa antara guru dan murid, serta bagaimana kebijakan sekolah bisa memperkuat atau mengikis ketidakadilan struktural.
Tujuan dan Prinsip Pendidikan Interseksional
- Mengakui Keragaman sebagai Realitas dan Kekuatan
Pendidikan bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk merayakan keragaman. Setiap siswa punya jalan belajar yang unik, dan sistem pendidikan perlu merangkul perbedaan itu. - Mengatasi Kesenjangan dan Ketidakadilan Struktural
Pendekatan interseksional tidak puas dengan solusi permukaan. Ia mengungkap akar persoalan mengapa siswa perempuan di pedesaan lebih mungkin putus sekolah, atau kenapa anak berkebutuhan khusus kerap terpinggirkan dan mengusulkan solusi struktural. - Mewujudkan Inklusi yang Aktif dan Substantif
Inklusi bukan sekadar kehadiran fisik, tetapi keterlibatan bermakna. Apakah semua siswa merasa dihargai, aman, dan didengar? Apakah suara mereka masuk dalam perumusan kebijakan sekolah?
Strategi Implementasi Pendidikan Interseksional
- Pelatihan Guru Berbasis Kesadaran Sosial
Guru perlu memahami konsep interseksionalitas dan dampaknya dalam praktik mengajar. Pelatihan harus mencakup anti-diskriminasi, anti-bias, dan refleksi atas privilege pribadi. - Kurikulum Kritis dan Multikultural
Buku teks dan materi ajar perlu dikaji ulang agar tidak bias gender, kelas, atau ras. Kurikulum seharusnya menyuarakan sejarah dan kontribusi kelompok marjinal. - Kebijakan Sekolah yang Berkeadilan
Tata tertib dan aturan sekolah harus dievaluasi dengan lensa interseksional: apakah ia secara tidak langsung menindas kelompok tertentu? Misalnya, aturan berpakaian yang diskriminatif terhadap identitas gender nonbiner. - Keterlibatan Komunitas dan Orang Tua
Kolaborasi dengan keluarga dan komunitas lokal penting untuk memahami konteks siswa dan memperkuat jaringan pendukung mereka. - Data dan Evaluasi Sensitif Gender dan Identitas
Evaluasi berbasis data yang membedakan performa dan pengalaman siswa berdasarkan identitas sosial membantu mengidentifikasi kesenjangan nyata dan merancang intervensi yang tepat.
Tantangan Implementasi dan Harapan ke Depan
Tantangan terbesar pendidikan interseksional terletak pada resistensi budaya dan birokrasi yang masih mendewakan homogenitas dan netralitas palsu. Banyak yang menganggap pendidikan harus “bebas dari politik”, padahal ketidakadilan adalah produk dari politik. Tanpa kesadaran interseksional, pendidikan justru menjadi alat reproduksi ketimpangan.
Namun harapannya tetap menyala. Semakin banyak sekolah dan lembaga pendidikan yang mengadopsi kebijakan anti-diskriminasi, memperluas kurikulum inklusif, dan melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan. Di sinilah masa depan pendidikan yang berpihak: bukan sekadar mencetak juara akademik, tapi menciptakan ruang aman untuk bertumbuh, bermimpi, dan memperjuangkan dunia yang lebih adil.
Melampaui Retorika Inklusi
Inklusi tidak boleh berhenti di atas kertas. Sudah saatnya sekolah mengubah praktik dan kebijakan yang menyisihkan. Apakah kita menyediakan toilet ramah disabilitas? Apakah murid dari keluarga rentan masalah sosial harus selalu dianggap “bermasalah”?
Model pendidikan interseksional mengingatkan kita: jika pendidikan tidak berpihak pada yang lemah, ia akan selalu jadi alat reproduksi kekuasaan.
Menerapkan pendidikan interseksional memang bukan perkara mudah. Ia menuntut keberanian untuk mengakui bahwa sistem yang kita warisi dengan segala regulasi, standar, dan budaya hierarkisnya tidak netral dan tidak selalu adil. Tapi di tengah dunia yang makin kompleks dan beragam, ini bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan.
Karena pendidikan seharusnya tidak sekadar mencetak anak pintar, tapi menciptakan ruang hidup yang memanusiakan, memuliakan, dan bermutu untuk semua.





