Teropong Indonesia, KOTA CIMAHI – Tragedi longsor yang merenggut nyawa seorang tukang bangunan bernama Usep (55) di Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah, membuka tabir kelam soal lemahnya pengawasan proyek konstruksi di wilayah rawan bencana.
Kecelakaan ini tak sekadar insiden alam, tapi cerminan nyata dari kelalaian sistemik dalam menjamin keselamatan para pekerja informal di lapangan.
Peristiwa terjadi pada Jumat malam, 18 Juli 2025, saat dua pekerja, Usep dan Candra (16), sedang memasang pondasi besi dalam galian tanah curam. Tanah tiba-tiba longsor dan menimbun mereka.
Candra berhasil diselamatkan meski dalam kondisi luka-luka, sementara Usep baru ditemukan keesokan harinya dalam kondisi tak bernyawa, terkubur pada kedalaman 2,5 meter.
Proyek ini disebut sebagai pembangunan kirmir di atas lahan pribadi. Namun hingga hari kedua pascalongsor, tidak ada satu pun pihak pemilik lahan maupun pelaksana proyek yang angkat bicara mengenai standar keselamatan atau perizinan teknis yang diterapkan.
Kepala BPBD Kota Cimahi, Fitriandy Kurniawan, menyebutkan bahwa penyebab longsor adalah “pergerakan tanah alami.” Pernyataan ini menuai kritik, karena tidak menjawab pertanyaan utama, mengapa pekerja diizinkan menggali di lereng terjal tanpa pengamanan memadai, apalagi saat hujan telah mengguyur wilayah tersebut dalam beberapa hari terakhir?
“Sangat disayangkan, ini bukan sekadar bencana alam. Ini bencana akibat pembiaran,” ujar seorang aktivis perlindungan pekerja konstruksi yang enggan disebutkan namanya.
Ia menambahkan bahwa proyek-proyek kecil di lahan pribadi kerap luput dari pengawasan dinas teknis, padahal risikonya tinggi.
Usep, seorang buruh bangunan asal Garut, dan Candra, pemuda berusia 16 tahun asal Cianjur, merupakan pekerja informal tanpa jaminan sosial maupun perlindungan hukum yang jelas.
Fakta bahwa Candra masih di bawah umur memunculkan dugaan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang seharusnya melarang anak bekerja di lingkungan berbahaya.
Tidak ditemukan tanda-tanda bahwa para pekerja menggunakan alat pelindung diri (APD), dan tak ada pengakuan dari otoritas mengenai adanya pengawasan keselamatan di proyek tersebut.
Situasi ini memperkuat dugaan bahwa pekerjaan dilakukan secara sembarangan, dengan menempatkan keselamatan pekerja sebagai hal sekunder.
Operasi evakuasi memang melibatkan lebih dari 80 personel dari 19 organisasi dan lembaga, namun besarnya skala penanganan ini justru menyoroti absennya pencegahan sejak awal.
Hingga kini, belum ada pernyataan dari Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tenaga Kerja, maupun aparat penegak hukum mengenai kelayakan proyek atau tanggung jawab hukum dari pemilik lahan.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius, apakah nyawa pekerja bangunan hanya akan dihitung sebagai risiko dalam laporan bencana?
Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah Kota Cimahi untuk melakukan audit menyeluruh terhadap proyek-proyek konstruksi di zona rawan longsor, baik di lahan pribadi maupun milik publik.
Tanpa langkah korektif dan akuntabilitas yang jelas, tragedi serupa bisa kembali terjadi dan lagi-lagi, yang jadi korban adalah mereka yang paling rentan, pekerja tanpa suara, tanpa perlindungan. (Gani Abdul Rahman)





