Mencintai Sayyidina Muhammad hukumnya wajib atas setiap mukallaf (baligh dan berakal).
Rasulullah SAW bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
Maknanya: “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih ia cintai dari ayahnya, anaknya dan manusia seluruhnya” (HR al-Bukhari).
Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa jika kita mencintai Allah, maka kita juga wajib mencintai Rasulullah dengan cara mengikuti perintah-perintah Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman:
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Maknanya: “Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Dan Allah Maha Pengampun lagi Mahapenyayang.” (QS Ali Imran: 31)
Mengapa kita wajib mencintai Baginda Nabi Muhammad SAW? Karena beliau diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Beliau diutus untuk mengeluarkan umat manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam. Beliau adalah teladan kita dan penunjuk jalan kita menuju kebahagiaan abadi. Beliau adalah insan paripurna yang berakhlak agung nan mulia.
Beliaulah pemberi syafaat bagi para pelaku dosa besar di antara umatnya. Beliau jugalah sang pemilik syafâ’ah ‘uzhmâ. Baginda Nabi SAW bersabda:
شَفَاعَتِيْ لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِيْ (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُمَا)
Maknanya: “Syafaatku diperuntukkan bagi para pelaku dosa besar di antara umatku” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lainnya)
Ketika di akhirat, umat manusia mengajak satu sama lain sembari berkata, “Marilah kita pergi ke bapak kita Adam agar memohonkan syafaat kepada Allah bagi kita.” Mereka lalu mendatangi Nabi Adam. Adam berkata kepada mereka, “Bukan saya pemilik syafaat ini, pergilah kepada Nuh.”
Kemudian mereka mendatangi Nabi Nuh dan memohon syafaat kepadanya. Nabi Nuh berkata kepada mereka, “Pergilah kepada Ibrahim.” Lantas mereka mendatangi Ibrahim. Kemudian Ibrahim berkata kepada mereka, “Bukan aku pemilik syafaat ini.”
Lalu mereka mendatangi Nabi Musa. Musa berkata kepada mereka, “Saya bukan pemilik syafaat ini, pergilah kepada Isa.” Nabi Isa pun berkata kepada mereka, “Aku bukan pemilik syafaat ini, pergilah kepada Muhammad.”
Mereka pun mendatangi Nabi Muhammad SAW. Lalu Rasulullah bersujud kepada Tuhannya. Maka dikatakan kepadanya, “Angkatlah kepalamu, berikanlah syafaatmu maka syafaatmu diterima, mintalah maka engkau akan diberi.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Bagaimana kita tidak wajib mencintai Baginda Muhammad? Beliau adalah orang yang dicintai oleh Allah SWT, Pencipta alam semesta. Seorang hamba yang dicintai oleh Pencipta kita, Pemberi rezeki kita, Dzat yang memelihara kita dan Dzat yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita.
Ketika Nabi Adam berbuat maksiat kepada Tuhannya (yang berupa dosa kecil yang tidak menunjukkan kehinaan dan kerendahan jiwa), maka Adam berkata –sebelum diciptakan Muhammad SAW, “Wahai Tuhanku, dengan wasilah kemuliaan Muhammad, aku memohon kepada-Mu agar Engkau mengampuni dosaku.”
Lalu Allah menyampaikan wahyu kepada Adam, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengetahui Muhammad padahal aku belum mewujudkannya?” Nabi Adam pun berkata, “Karena Engkau ya Allah, ketika mewujudkanku, aku mengangkat kepalaku maka aku lihat nama Muhammad tertulis di tiang-tiang penyangga ‘Arsy. Tercatat disana:
لَا إلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ
maka aku mengetahui bahwa Engkau tidak akan menyandarkan kepada nama-Mu kecuali makhluk yang paling engkau cintai.” (HR al-Hakim)
Saudara-saudaraku para pencinta Muhammad SAW…
Allah SWT telah memuliakan para sahabat Rasulullah untuk menemani Nabi, melihat Nabi, mendengarkan perkataan Nabi dan melihat berbagai keadaan Nabi. Dengan itu, hati mereka dipenuhi dengan kecintaan kepada Nabi. Sehingga Nabi lebih mereka cintai dari orang tua mereka, anak-anak mereka, bahkan dari diri mereka sendiri.
Suatu ketika saat Perang Uhud usai, salah seorang perempuan dari kaum Anshar mendengar isu bahwa Nabi SAW gugur di medan perang. Perempuan ini pun keluar dari Madinah untuk menyambut pasukan kaum muslimin yang tengah berjalan pulang ke Madinah.
Ternyata perempuan tersebut disambut dengan berita tewasnya ayah, anak, suami, dan saudara laki-lakinya di medan perang.
Perempuan tersebut terus melewati pasukan kaum Muslimin hingga barisan paling belakang. Mereka berkata kepadanya, “Ayahmu, suamimu, saudara laki-lakimu, anakmu, semuanya gugur.” Perempuan itu tidak mempedulikan berita itu.
Ia terus bertanya, “Apa yang menimpa Rasulullah?” Mereka berkata kepadanya, “Beliau ada di hadapanmu.” Ketika perempuan itu telah sampai di dekat Rasulullah SAW, ia pun memegang salah satu ujung dari pakaian Nabi seraya berkata, “Sungguh wahai Rasulullah, aku tidak peduli apapun yang terjadi selama engkau selamat dari mara bahaya.” (Disebutkan dalam Hilyah al-Auliyâ’, Shifah ash-Shafwah dan lain-lain).
Saudara-saudaraku para perindu Rasulullah,
Dalam kesempatan lain, dalam suatu peperangan, Abu Thalhah al-Anshari tengah melempar anak panah ke arah kaum musyrikin. Lalu Nabi SAW mengangkat kepalanya dari belakang Abu Thalhah untuk melihat ke manakah anak panah tersebut jatuh mengenai sasarannya.
Melihat itu, Abu Thalhah melonjak dengan dadanya untuk melindungi Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Nabi Allah, janganlah engkau mengangkat kepala dan melongok ke atas, jangan sampai engkau terkena salah satu anak panah mereka, biarlah leherku ini melindungi lehermu ya Rasulallah.” (HR Muslim dan Ibnu Hibban).
Kaum Muslimin rahimakumullâh,
Sahabat lain, Zaid bin ad-Datsinah suatu ketika tertangkap oleh sebagian kaum Musyrikin Quraisy. Mereka hendak membunuhnya untuk membalas dendam atas terbunuhnya kawan-kawan mereka dalam perang Badr. Abu Sufyân bin Harb berkata kepada Zaid: Demi Allâh wahai Zaid, apakah kamu menginginkan Muhammad tertangkap oleh kami dan sekarang berada di posisimu? Kami penggal lehernya sedangkan engkau berada di tengah-tengah keluargamu? Zaid dengan tegas menjawab: Demi Allâh, aku tidak menginginkan Muhammad ada di posisiku dan terkena duri yang menyakitinya, sedangkan aku duduk-duduk di tengah keluargaku. Abu Sufyân pun menimpali: Aku tidak pernah melihat seseorang mencintai orang lain sedalam dan sehebat cinta para sahabat Muhammad kepada Muhammad (Dituturkan dalam ‘Uyûn al-Atsar, asy-Syifâ dan lain-lain).
Suatu ketika Abdullah bin Umar SAW kakinya terkena khadar (semacam lumpuh). Lalu dikatakan kepadanya: Sebutlah manusia yang paling engkau cintai! Seketika itu ia berkata: Wahai Muhammad. Saat itu juga, beliau sembuh seketika karena manfaat dan berkah cintanya kepada Rasulullah SAW (Diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad)
Ma’âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,
Seseorang yang mencintai orang lain tentulah akan mengutamakannya atas yang lain dan berusaha menurut kepadanya serta melakukan apa yang diperintahkannya.
Jika hal ini tidak ia lakukan, maka ia tidak sungguh-sungguh mencintainya. Jadi orang yang sungguh-sungguh mencintai Baginda Nabi, akan tampak pada dirinya tanda-tanda kecintaan itu.
Di antaranya: Meneladani Nabi, mengamalkan sunnah Nabi, mengagungkan Nabi, memuliakan Nabi, mencintai orang-orang yang dicintai oleh Nabi di antara keluarga dan para sahabatnya, banyak bershalawat kepada Nabi, sering menyebut-nyebut Nabi dan selalu rindu untuk bertemu dengan Nabi. Rasulullah SAW bersabda:
مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِيْ لِيْ حُبًّا نَاسٌ يَكُوْنُوْنَ بَعْدِيْ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِيْ بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Maknanya: “Di antara umatku yang paling mencintaiku adalah sekelompok orang yang muncul setelahku, masing-masing dari mereka menginginkan untuk melihatku meskipun dengan mengorbankan keluarga dan harta bendanya.” (HR Muslim)
Mudah-mudahan kita dijadikan oleh Allâh sebagai umat yang mencintai Nabi-Nya, menjalankan perintahnya, menjauhi larangannya dan beradab dengan adab-adabnya.
Penulis: KH Nur Rohmad (Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Mayarakat MUI Kabupaten Mojokerto / mui.or.id)