Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
Refleksi tentang Kecepatan yang Menyembunyikan Kekosongan
Mereka berlari, seperti waktu hendak tamat,
Mengejar sesuatu yang tak pernah jelas wujudnya.
Mereka lupa, bukan kaki yang menentukan arah,
Tapi jiwa yang tenang, dan hati yang berserah.
Kesibukan: Status Sosial Baru
Hari ini, orang bangga kalau bilang, “Aduh sibuk banget.” Sibuk jadi lambang penting.
Orang merasa berharga karena jadwalnya padat.
Tapi… sibuk bukan berarti hidup.
“Orang-orang itu seperti sedang naik eskalator terbalik, bergerak keras tapi tetap di tempat.”
Kesibukan itu kadang cuma kamuflase dari kekosongan.
Karena kalau kita diam, kita harus menghadapi suara hati. Dan itu… menakutkan bagi yang jiwanya rapuh.
Dunia yang Menyulap Waktu Jadi Mesin Produksi
Kita hidup di zaman kuantifikasi. Segala hal dinilai dari:
- Berapa cepat
- Berapa banyak
- Berapa views
- Berapa hasil
Padahal, hidup bukan pabrik. Jiwa bukan mesin.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi)
Tapi dunia sekarang mengajarkan sebaliknya.
Kita harus selalu online, available, responsive, bahkan saat kita sedang lelah atau ingin sendiri.
Kesibukan telah jadi berhala baru. Kita sembah dengan notifikasi.
Teknologi: Menyatukan yang Jauh, Memisahkan yang Dekat
Ironis, memang. Kita bisa video call orang di benua lain, tapi gak bisa ngobrol jujur sama pasangan di samping.
Kita scroll TikTok selama 2 jam, tapi males buka Al-Quran walau cuma 2 menit.
Waktu kita terkuras bukan oleh aktivitas besar, tapi oleh jutaan gangguan kecil yang gak kita sadari.
“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36)
Manusia Sibuk, Jiwa Kosong
Banyak orang hari ini:
- Kaya tapi gelisah
- Sukses tapi kesepian
- Sibuk tapi gak tahu buat apa
Mereka kehilangan orientasi. Karena hidupnya ditentukan orang lain. Bukan oleh misi dari dalam diri. Orang-orang itu punya jam tangan mahal, tapi gak tahu buat apa waktu dipakai.
Keberhasilan yang Menipu
Coba lihat “orang sukses” versi media sosial:
Jet pribadi, pesta, aset digital, foto senyum lebar.
Tapi malam harinya, mereka buka HP lagi, cari validasi lewat komentar.
Bahkan bahagia pun harus diumumkan.
“Jika engkau ingin tahu siapa dirimu, lihatlah saat tak ada yang menonton. Di sanalah kejujuran tinggal.”
Renungan: Hidup Butuh Jeda
Dalam Islam, kita diajarkan shalat lima waktu.
Itu bukan beban. Itu jeda. Allah tahu manusia bisa hilang dalam kesibukan. Maka Dia panggil kita kembali ke pusat. “Dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Berhenti bukan gagal. Diam bukan lemah.
Jeda adalah kemenangan kecil atas dunia yang memaksa kita terus lari.
Ujung Jalan yang Tak Pernah Ditanyakan
Bayangkan: manusia lari seumur hidup…
Buat jabatan, uang, like, validasi…
Tiba-tiba umur habis. Nafas terakhir.
Lalu dia nanya: “Selama ini gue ngejar apa?”
Itulah tragedi modern: kita sibuk membangun tangga yang tinggi…
Ternyata disandarkan ke tembok yang salah.
Parabel Singkat
Di satu dunia, ada orang lari kencang tiap hari.
Dia pikir semua orang lari juga, jadi dia gak mau berhenti.
Suatu hari dia nabrak dinding.
Ternyata dia sendiri. Semua orang udah berhenti dari dulu.
Dia yang gak sadar.
Mereka mengejar waktu,
Tapi kehilangan hidup.
Mereka sibuk setiap jam,
Tapi tak pernah benar-benar hadir.
Di antara dering dan deadline,
Sunyi memanggil dengan lirih,
“Kapan kau pulang…
Bukan ke rumah, tapi ke dirimu sendiri?”