Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
Di Zaman Edan
Kata-kata dikutuk jadi status
Makna dibunuh oleh editan
Cinta ditukar diskon flash sale
Dan doa?
Hanya filler caption.
Aku memilih waras
Bukan karena suci
Tapi karena masih ingin
Menjadi manusia
Bukan algoritma berselera pasar.
“In a time of deceit, telling the truth is a revolutionary act.”— George Orwell
“When the world goes mad, one must accept madness as sanity.”— Carl Jung
“They laugh at me because I’m different; I laugh at them because they’re all the same.”— Kurt Cobain
“Di zaman edan, tetap waras adalah tindakan subversif.”— Sujiwo Tejo
Bayangkan ini: kamu berdiri sendiri, melawan arus yang deras. Orang-orang di sekitarmu ikut hanyut, senyum palsu, tertawa pada hal-hal yang absurd, hidup dari validasi digital, dan percaya bahwa harga diri bisa ditukar dengan followers dan likes. Lalu kamu berdiri. Diam. Melawan zaman.
Zaman ini bukan sekadar berubah, tapi meledak. Teknologi tak hanya mempercepat waktu, tapi juga membonsai kesadaran. Logika dikalahkan oleh viralitas. Kebenaran direduksi menjadi opini terbanyak. Dan kesalehan dijadikan konten dengan durasi 60 detik.
Zaman Miring, Akal Buring
Di tengah banjir informasi, kita kekurangan makna. Di era konektivitas, kita kehilangan keintiman. Semua orang bicara, tapi tak ada yang benar-benar mendengar. Dan yang memilih diam, dituduh bodoh. Yang berani jujur, dikutuk naif. Yang hidup sederhana, dibilang belum upgrade.
Melawan zaman bukan soal nostalgia masa lalu. Ini bukan romantisme. Ini tentang kesadaran bahwa ada nilai-nilai yang tidak boleh tunduk pada tren. Bahwa integritas, kejujuran, kesederhanaan, dan kasih sayang adalah nilai tak lekang, meski zaman terus berubah wujud seperti monster di video game.
Menjadi Waras di Era Gila
Kita hidup di masa ketika hidup harus ditayangkan. Di mana kamu dinilai dari seberapa sering kamu update story, bukan dari seberapa sering kamu refleksi diri. Di mana anak muda lebih hafal dance TikTok daripada Pancasila.
Lalu, bagaimana rasanya menjadi waras di tengah dunia yang memuliakan kegilaan? Sulit. Sepi. Tapi justru itulah bentuk perlawanan paling elegan. Karena waras adalah sisa-sisa kemanusiaan yang masih bertahan dari pembantaian algoritma dan kapitalisme gaya hidup.
Melawan Itu Tidak Trendy
Jangan berharap pujian. Orang yang melawan zaman itu sering dianggap aneh. Anti sosial. Kuno. Nggak gaul. Tapi mereka adalah penjaga api kesadaran yang nyaris padam. Mereka adalah minoritas yang tidak bisa dibeli oleh likes, dibungkam oleh trending, atau disuap oleh sistem.
Melawan zaman itu seperti menanam pohon di tengah padang beton. Sulit tumbuh. Tapi jika bertahan, ia akan jadi oase. Sebuah tanda bahwa masih ada harapan.
Melawan Zaman: Jalan Sunyi Para Legenda
Zaman punya selera. Ia menyukai yang tunduk. Yang ikut. Yang patuh. Tapi sejarah ditulis oleh mereka yang berani melawan. Sayangnya, banyak yang harus membayar mahal atas keberanian itu.
Socrates – Dihukum Mati karena Bertanya
Filsuf Yunani ini mengajarkan berpikir kritis dan mempertanyakan kebenaran yang mapan. Ia dituduh meracuni pikiran anak muda dan memilih mati dengan racun demi mempertahankan prinsipnya. Ia melawan zaman di mana kekuasaan tidak boleh ditanya.
Galileo Galilei – Dibungkam karena Melihat Bintang
Ketika ia bilang bumi mengelilingi matahari, dunia menganggapnya gila. Gereja membungkamnya, memaksanya mencabut kata-katanya. Ia melawan zaman yang takut pada kenyataan ilmiah karena bertentangan dengan dogma.
Malcolm X & Martin Luther King Jr. – Mati Demi Keadilan
Keduanya melawan sistem rasis Amerika yang menindas kulit hitam. Malcolm dengan retorika tegasnya, Martin dengan mimpi damainya. Keduanya ditembak mati karena terlalu berani berkata, “Enough!”
Munir Said Thalib – Mati Diracun karena Melawan Penindasan
Aktivis HAM Indonesia ini melawan impunitas dan ketidakadilan. Ia dibungkam dengan racun arsenik di atas langit. Tapi namanya tetap menggema di hati orang-orang yang menolak tunduk.
Fakta Empiris: Waras Itu Minoritas
Penelitian sosiologis dari Zygmunt Bauman tentang liquid modernity menyebutkan bahwa zaman modern mencairkan nilai-nilai. Tidak ada yang tetap. Semua berubah. Identitas menjadi cair, hubungan menjadi instan, nilai menjadi relatif. Maka orang yang teguh pada nilai tetap akan terlihat “aneh” atau “tertinggal”.
Data dari Pew Research (2023) menunjukkan bahwa 60% anak muda usia 18–25 merasa harus menyesuaikan diri dengan standar sosial media, walau itu membuat mereka kehilangan jati diri. Mereka hidup dalam tekanan algoritma, bukan idealisme pribadi.
Kajian Sosiologis: Budaya Konformitas dan Ketundukan Massal
Sosiolog klasik Émile Durkheim menyebut bahwa masyarakat memiliki kekuatan koersif yang memaksa individu untuk patuh melalui norma sosial. Ketika seseorang melawan norma dominan, ia akan mengalami isolasi sosial. Maka, orang waras di zaman edan akan dikucilkan seperti virus.
Dalam kajian Erich Fromm (Escape from Freedom), ia menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, banyak orang lari dari kebebasan menuju konformitas, karena berpikir sendiri itu menyakitkan. Maka, melawan zaman butuh keberanian eksistensial: berani tidak disukai, berani tidak viral, berani sendiri.
Zaman Boleh Edan, Nurani Jangan Ikut Setan
Melawan zaman bukan berarti anti-teknologi, bukan juga jadi orang jadul. Tapi melawan zaman adalah menolak ikut arus ketika arus itu membawa kita ke jurang kehilangan nurani. Ini soal memilih tetap jujur, tetap berempati, tetap menjaga akal sehat meski dianggap tidak keren.
“He who does not move, does not notice his chains.”— Rosa Luxemburg
Melawan Zaman
Di antara jutaan jempol
aku mengepalkan tangan
bukan untuk memukul
tapi menolak ikut-ikutan.
Aku memilih sepi
daripada pesta topeng
memilih tanya
daripada ikut euforia.
Zaman ini
membuatmu harus menjual jati diri
kalau ingin dikenal.
Tapi aku ingin dikenang
sebagai yang melawan
bukan yang larut.
Kalau anda siap melawan zaman, anda nggak perlu keras cukup waras. Dan itu, sudah jadi tindakan revolusioner hari ini.